Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (“UUD 1945”).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU
8/2011”) dan kemudian diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu
1/2013”) dan kemudian ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang mengatur mengenai kewenangan MK,
yakni berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik; dan
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Pemilihan Umum (“Pemilu”) menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”)
adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa
terkait dengan perselisihan hasil Pemilu (termasuk pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (“Pilpres”) lembaga yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir adalah MK.
Bisakah Pengadilan Selain MK Memutus Sengketa Hasil
Pilpres?
Lalu apakah lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung
(“MA”) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) dapat dan juga berwenang
mengadili perkara hasil Pilpres? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu
ketahui kewenangan dari MA dan PTUN.
Pada dasarnya, berdasarkan artikel Arti Asas Ius
Curia Novit hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga Pengadilan tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara, tetapi perlu diperhatikan
kewenangan atau kompetensi dari setiap pengadilan untuk memeriksa dan memutus
perkara.
Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (“UU 5/2004”) dan terakhir kali diubah oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 3/2009”) dijelaskan bahwa MA
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
- permohonan kasasi;
- sengketa tentang kewenangan mengadili;
- permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU
9/2004”) dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) PTUN bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita
simpulkan bahwa lembaga yang berwenang mengadili sengketa hasil Pemilu
(Pilpres) hanyalah MK.
Hal senada juga disampaikan oleh Abdullah, Ketua Biro
Hukum dan Humas MA dalam artikel Begini Isi 3 PERMA Penyelesaian Sengketa
Pemilu di Pengadilan, untuk sengketa hasil suara selisih pemilihan umum
tentu tetap di MK. Tetapi untuk persoalan administrasi pelanggaran hasil
keputusan Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) dilakukan gugat ke MA dan PTUN.
Masih bersumber dari artikel yang sama, MA telah
menyiapkan tiga Peraturan MA untuk mengantisipasi sengketa pelanggaran
administrasi pada pemilu tahun 2019:
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung (“PERMA 4/2017”);
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara (“PERMA 5/2017”);
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2017 tentang Hakim Khusus dalam Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara (“PERMA 6/2017”).
Dalam Pasal 2 PERMA 4/2017 dijelaskan bahwa MA
berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan
pelanggaran administratif pemilihan umum.
Sementara dalam Pasal 2 ayat (1) PERMA 5/2017 diatur
bahwa PTUN bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa proses pemilihan umum.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, lembaga yang berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa hasil pilpres
adalah MK, bukanlah MA maupun PTUN. Kewenangan MA adalah mengenai perselisihan
pelanggaran administratif pemilihan umum, sementara PTUN berwenang perihal
sengketa proses pemilihan umum. Kemudian Putusan MK terkait sengketa hasil
pilpres tersebut bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh